Kartini tidak pantas disebut tokoh emansipasi

Setiap tanggal 21 april kita memperingati hari lahirnya kartini yang katanya disebut2 sebagai tokoh emansipasi wanita. Tapi apa benar dia layak disebut sebagai tokoh emansipasi wanita?

Kenapa? coba silahkan buka kembali buku2 sejarah anda atau anak2 anda dan coba bandingkan cerita perjuangan para tokoh2 wanita Indonesia pada jaman dahulu kala, jauh sebelum saya dan orang tua saya lahir.

Karena buku2 sejarah saya sudah hilang maka saya memanfaatkan search engine google dan google saja πŸ™‚

Cut Nyak Dhien, saya ambil dari sini, adalah seorang pahlawan wanita dari Aceh yang bersama suaminya Teuku Umar mengangkat senjata dan berperang melawan Belanda.

Dewi Sartika, saya ambil dari sini, adalah tokoh pendidikan untuk kaum perempuan, beliau mendirikan sekolah untuk kaum perempuan dan mengajarkan berbagai hal. Dana untuk mendirikan sekolah ini juga merupakan hasil tabungannya sendiri.

Cut Meutia, saya ambil dari sini, adalah tokoh pahlawan dari Aceh

9 thoughts on “Kartini tidak pantas disebut tokoh emansipasi”

  1. bagi saya beliau adl seorang wanita yang hebat.kita tidak akan pernah menghargai seseorang ketika kita tidak mrasakan apa yang dirasakan olehnya.mungkin bagi kita itu mudah ..TAPI ternyata tidak..hargailah orang..maka orang akan menghargaimu..!! πŸ™‚

    Reply
  2. Semua orang bisa disebut pahlawan. Bahkan bapak ibu kita, mereka adalah pahlawan bagi keluarga. Jika demikian mengapa muski ada Taman Makam Pahlawan? Apakah semua yang dimakamkan di sana adalah benar-benar pahlawan?

    Pertanyaan itu acap kali mengusik kita, siapa sebenarnya yang pantas dilabeli pahlwan-pemberontak, emansipatoris-bukan emansipatoris perempuan. Tapi, saya kira dunia ini butuh sesuatu yang dihargai dan pantas dihormati. Ketika Kartini dianugerahi sebagai pahlawan emansipasi wanita, itu artinya ada yang pantas dihargai dalam diri, tindakan, dan pemikiran Kartini. Pun demikian pada Dewi Sartika, Cut Nya Dien, Cut Meutia, Christina Marthatiahahu, atau ibu-ibu yang jualan di pasar itu. Hanya saja perbedaanya, Kartini itu menulis. Hingga tulisannya bisa dibaca oleh semua orang. Suaranya terdengar sampai jauh dan tak menguap diterpa angin.

    Ia menulis surat kepada teman penanya kepada Abendanon, Prof. Anton, Agus Salim pun juga. Ia juga mengirimkan suratnya ke koran-koran masa itu, De Locomotief yang terbit di Semarang.

    Kedekatakannya dengan Abendanon memang tak bisa dipungkiri, yang menyebabkan dia kemudian dikenal oleh banyak orang. Ia memang hasil dari pendidikan dari sebuah politik bernama politik eties. Tapi ketahuilah karena gagasannya untuk memajukan pendidikan bagi kaum perempuan itulah ia dikenang oleh banyak orang. Dan itulah yang dihargai dari dirinya. Ia tak semata berpikir bagi dirinya sendiri, kaumnya, wanita-wanita Jawa, wanita-wanita Hindia-Belanda. Ia berpikir untuk peradaban manusia. Cobalah simak pemikirannya: ketika ia bepikir bahwa perempuanlah tumpu pendidikan. Jika perempuan cerdas baik secara pikiran maupun perasaan maka peradaban dunia yang lebih baik akan terbentuk. Ia menyadari bahwa anak yang baik selalu lahir dari ibu yang baik pula. Dan anak-anak, yang kelak besar dan dewasa, inilah yang akan mengisi dunia, mengisi perdaban. Pendek kata, perdaban yang baik dimulai dari pendidikan wanita yang baik sebagai calon ibu maupun sebagai ibu. Bukankah itu mulia?

    Saya berharap Anda membaca pemikiran Kartini dalam suart-suratnya kepada Abandanon. Saya juga berharap Anda juga membaca surat-surat Kartini tulisan Sanusi Pane. Dari sna akan terbaca pemikirannya, kegetirannya sebagai wanita Jawa yang harus dilahirkan sebagai anak bupati dari ibu kedua. Saya juga berharap Anda bekunjung ke Jepara, ke bekas kediaman Kartini untuk sekadar melihat kamar tempat Kartini dipingit. Ruang itu menurut penginderaan saya pengap dan sangat tak layak untuk dijadikan kamar, meski dalam rumah seorang bupati.

    Semoga apa yang saya tulis ini benar. Semoga juga wanita/perempuan di seluruh dunia bisa cerdas dalam berpikir dan berperasaan sehingga kelak peradaban dunia kan jauh lebih baik. Semoga semua mahkluk berbahagia. Juga jiwa Kartini di sana….

    Reply
    • Sending congratulations from HK Although thgins didn’t worked out as I hoped they would, I am re-routing and continue to seek my passion and hopefully one day it will lead me back to Taiwan next year.I can’t agree with you more on the note that people don’t need charity, people just need chance. Sometimes a chance is all a person needs for them to take flight in starting something great.Wishing you all the best and hope I will be able to have the opportunity in engaging another inspiring conversation with you.Have a wonderful Merry Christmas and Happy New Year!Warmest Regards,Serena

      Reply
  3. mungkin ada beberapa aspek yang beliau lakukan s’hingga beliau dianggap sebagai tokoh emansipasi, just positive thinking!!

    Reply
  4. Kartini? beliau berkomunikasi dengan orang yang tepat (baca: sahabat2 pena Belanda-nya), sehingga namanya jadi terdengar :).

    kalo sekolah perempuan pertama, setuju, Dewi Sartika lebih dulu. Jay rasanya juga pernah nulis untuk memperingati ulang tahun Dewi Sartika.

    Reply
  5. Kartini memang bukan pejuang emansipasi. Beliau justru sedang dalam proses menemukan pemahaman Islam yang benar. Beliau beranggapan bahwa berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran agar bisa menjalankan tugasnya sebagai pendidik manusia yang pertama. Persis seperti yang diajarkan Islam.
    Kartini berupaya untuk memajukan kaum wanita dimasanya (masa penjajahan). Pada saat itu wanita tidak mendapatkan hak pendidikan yang sama dengan laki-laki, mereka dinomor duakan, bahkan dalam segala aspek kehidupan. Perjuangan Kartini tidaklah berarti untuk menyaingi laki-laki, namun memberi kontribusi bagi perbaikan masyarakat Cita-citanya ini diungkapkan melalui suratnya kepada Prof Anton dan Nyonya, pada tanggal 4 Oktober 1902: “Kami disini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan. Bukan sekali-sekali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tetapi, karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam (sunnatullah) sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.”

    baca selengkapnya di
    http://langgengbasuki.blog.com/

    Reply

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.