Wah tengkyu banget lho sudah disambut. Terima kasih wahai kalian penduduk Jakarta. Dan terima kasih juga kepada masyarakat Indonesia. Seneng banget akhirnya nyampe juga di Indonesia dan seneng Michelle juga bisa datang nemenin saya. Sempet meleset beberapa kali ya di awal tahun, tapi saya sih kekeuh banget mau berkunjung ke negara yang banyak arti buat saya. Sayang banget cuma kunjungan singkat, tapi saya udah nggak sabar nih mau datang setahun dari sekarang, pas Indonesia jadi tuan rumah East Asia Summit.
Sebelom ngomyang lebih jauh, saya pengen bilang bahwa rasa dan doa kami semua ada bersama dengan warga Indonesia yang terkena tsunami dan gunung meletus – terutama yang kehilangan orang yang dicintainya, dan orang-orang yang terpaksa ngungsi. Seperti biasa, Amerika Serikat juga berdiri bersama dengan Indonesia untuk merespon bencana alam ini, dan kami senang bisa menolong semana yang diperluin. Sebagaimana tetanga nolong tetangganya, dan keluarga menerima ke dalam rumahnya orang-orang yang ‘terusir’ dari rumahnya, saya tau bahwa kekuatan dan ketahanan orang Indonesia akan membantumu pada saat ini juga.
Nah sekarang kita mulai dengan pernyataan sederhana: Indonesia itu bagian dari saya. Saya pertama nyampe di Indonesia ketika emak saya nikah dengan pria Indonesia bernama Lolo Soetoro. Sebagai anak laki-laki yang masih anak-anak, saya datang ke dunia yang beda banget. Untungnya orang Indonesia bikin saya betah.
Jakarta beda banget ya sekarang. Kotanya skarang penuh dengan gedung-gedung yang nggak cuma beberapa lantai saja tingginya. Dulu Hotel Indonesia salah satu dari sekit gedung tinggi, dan cuma ada satu tempat syoping baru, namanya Sarinah. Dulu becak lebih banyak dari mobil, dan jalan raya dengan cepat menggantikan jalan setapak dan kampung.
Kami akhirnya tinggal di menteng Dalem, tinggal di rumah kecil yang ada pohon mangganya di halaman depan. Saya belajar cinta Indonesia sambil maen layangan (tapi bukan anak layangan ya–red), kejar-kejaran di sawah, nangkepin capung, beli sate dan beli bakso dari tukang yang lewat-lewat. Tapi yang pasti saya inget orangnya – kakek nenek yang menerima kami dengan senyum; anak-anak yang bikin kami, orang luar negeri, berasa kayak tetangga; dan guru-guru yang bantu saya belajar tentang dunia yang lebih luas.
Karena Indonesia itu terdiri dari beribu-ribu pulau, beratus-ratus bahasa, dan orang-orang dari berbagai tempat dan kelompok etnis, waktu saya tinggal di sini mbantu banget dalam menghargai kesamaan pada manusia. Dan walau ayah tiri saya, seperti kebanyakan orang Indonesia, dibesarkan sebagai orang Islam, dia percaya bahwa semua agama itu patut dihargai. Jadi, dengan begini, dia itu mencerminkan semangat toleransi atas umat beragama, seperti yang ada di konstitusinya Indonesia, dan yang terus jadi salah satu karakteristik khas dan menggugah dari negara ini.
Saya idup di Indonesia selama empat taon – rentang waktu yang mbantu membentuk masa kecil saya; waktu itu juga adik saya yang istimewa, Maya, lahir; dan waktu itu juga yang bikin kesan mendalam pada emak saya, jadilah dia selama dua puluh tahun ke depan, jadi sering bolak balik Indonesia untuk tinggal, kerja, dan jalan-jalan – terus melakukan apa yang dia tekuni, mewujudkan kesempatan bagi warga pedesaan di Indonesia, terutama wanita dan anak perempuan. Sepanjang hidupnya, emak saya selalu menyayangi negara ini dan orang-orang yang ada di dalamnya.
Banyak banget perubahan dalam 40 tahun ini, sejak saya naek pesawat balik e Hawaii. Kalo kamu tanya saya – atau teme-temen sekelas saya dulu – kayaknya, ngga ada dari kami yang mengira bahwa satu hari saya bakal balik ke Jakarta sebagai Presiden AS. Dan pasti sedikit yang mengantisipasi cerita Indonesia yang begitu mengagumkan, yang terjadi selama 40 tahun kebelakangan ini, toh.
Jakarta yang saya kenal dulu, sekarang udah tumbuh jadi kota untuk hampir sepuluh juta orang, gedung-gedung tinggi yang bikin Hotel Indonesia kayak pendek, dan jadi pusat budaya dan perdagangan. Kalo dulu saya dan temen-temen saya yang orang Indonesia mainnya kejar-kejaran di lapangan bareng kebo dan embek, anak-anak Indonesia jaman sekarang itu salah satu generasi yang paling ‘terhubung’ di dunia – terhubung melalui hape dan jejaring sosial. Dan kalo dulu Indonesia, sebagai negara yang muda, berwawasan ke dalam, Indonesia yang bertumbuh seperti yang sekarang, memainkan peran penting dalam perekonomian Asia Pasifik dan global.
Perubahan ini juga sampe ke ranah politik. Ketika ayah tiri saya dulu masih kecil, dia lihat sendiri ayah dan kakak laki-lakinya pergi untuk berjuang dan tewas, memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Jadi saya seneng aja pas hari ini, Hari Pahlawan, saya bisa mengenang sebegitu banyak warga negara Indonesia yang berkorban demi negara yang besar ini.
Ketika saya pindah ke Jakarta, itu tahun 1967, waktu yang berbuntut penderitaan besar dan konflik di berbagai bagian negara ini.Bahkan walau ayah tiri saya itu orang militer, kekerasan dan pembunuhan pada saat pergolakan politik itu saya nggak begitu tau, sebab nggak dibicarakan oleh kerabat dan kawan-kawan Indonesia saya. Di rumah saya, seperti juga di banyak rumah di seantero Indonesia, hal ini ada tapi nggak ada. Indonesia (waktu itu) boleh aja punya kemerdekaan, tapi ketakutan itu nggak pernah jauh-jauh banget.
Tahun-tahun setelahnya, Indonesia telah menyusuri jalan menuju sebuah transformasi demokratis yang mengagumkan – dari diperintah tangan besi, sekarang diperintah oleh rakyat. Tahun-tahun terakhir ini, dunia nonton dengan penuh harap dan penuh kagum, sambil Indonesia perpindahan kekuasan yang cukup damai, dan pemilihan pemimpinnya dilakukan secara langsung. Dan sama seperti demokrasimu dilambangkan dengan Presiden terpilih dan legislasi, demokrasimu itu dijaga terus dan dikuatkan terus dengan berbagai macam check & balance, sebuah masyarakat sipil yang dinasis; banyak partai politik dan perserikatan; media yang semangat banget, dan warga negara yang aktif berperan sertauntuk meastikan bahwa di Indonesia, nggak ada tuh kata pengen balik kayak dulu lagi.
Dan walau tanah dari waktu saya muda dulu ini udah berubah banyak banget, hal-hal yang saya dulu suka/cinta tentang Indonesia – semangat toleransi, kayak yang tertulis di Konstitusi; dilambangkan dengan mesjid-mesjid, gereja-gereja, candi/wihara/pura; dan yang dijalankan oleh masyarakatnya – itu semua ada terus. Bhinneka Tunggal Ika – berbeda-beda tapi tetep satu. Ini adalah dasar dari contoh yang dikasih Indonesia kepada dunia dan inilah kenapa Indonesia akan mainkan peranan penting di abad ke-21 ini.
Jadi hari ini, saya balik ke Indonesia sebagai teman, tapi juga sebagai Presiden yang nyari kemitraan yang dalam dan bisa bertahan terus, antara kedua negara ini. Karena sebagai dua negara yang besar dan beragam yang ada di dua sisi samudra Pasifik; dan di atas semua itu, sebagai negara-negara demokratis – Amerika Serikat dan Indonesia itu sama-sama punya minat dan nilai yang sama.
Kemaren, saya bareng Presiden Yudhoyono mengumumkan Kemintraan Komprehensif antara AS dan Indonesia. Kita meningkatkan hubungan antara kedua pemerintah di berbagai bidang, dan sama pentingnya, kita meningkatkan ikatan antar kedua bangsa/maskyarakat. Ini adalah kemitraan yang sejajar, yang didasari dengan minat yang sama dan saling hormat.
Dengan sisa waktu yang saya punya sekarang, saya pengen ngomong sedikit tentang dongeng saya yang barusan – cerita tentang Indonesia sejak hari-hari waktu saya tinggal di sini – dan kenapa itu penting buat Amerika Serikat, dan juga dunia. Saya bakal fokus ke tiga hal yang saling bersinambungan dan sangat penting untuk kemajuan umat manusia _ perkembangan, demokrasi, dan agama.
Pertama, persahabatan antara AS dan Indonesia dapat memajukan hal-hal yang ada dalam kesamaan minat kita, terutama dalam hal kemajuan.
Waktu saya pindah ke Indonesia, susah banget ya untuk membayangkan gimana keluarga-keluarga makmur di Chicago dan Jakarta bisa saling terhubung. Tapi ekonomi kita sekarang udah global, dan masyarakat Indonesia udah ngerasain janji dan juga jurang globalisasi: mulai dari ndapetin syok ketika krisis moneter tahun 90an, hingga jutaan yang sekarang udah ada di atas garis kemiskinan. Artinya – dan yang telah kita pelajari dari krismon yang barusan ini – adalah bahwa kita semua punya andil atas kesuksesan bersama.
Amerika menaruh harapan pada Indonesia yang masih berkembang, dan sebuah kekayaan yang dibagikan secara umum atas semua orang di Indonesia – karena meningkatnya kaum kelas menengah itu artinya pangsa pasar baru bagi barang-barang kami, sama seperti Amerika itu adalah pangsa pasar buat kalian juga. Jadi kami semakin banyak berinvestasi di Indonesia, dan ekspor kami telah tumbuh hampir 50% dan kami buka terus pintu supaya orang Amerika dan Indonesia dapat terus berbisnis satu dengan yang lain.
Amerika juga menaruh harapan pada Indonesia agar menjalankan perannya dalam membentuk ekonomi global. Udah nggak ada lagi tuh zaman di mana cuma tujuh atau delapan negara ngumpul bareng untuk menentukan nasib dan arah pangsa pasar global. makanya G-20 itu sekarang jadi titik pusat kerjasama ekonomi internasional, jadi ekonomi berkembang kayak Indonesia bisa bersuara lebih kencang dan juga memikul lebih banyak tanggung jawab. Dan melalui tugasnya sebagai kepala grup anti-korupsi di G-20, Indonesia kudunya juga memimpin pada skala dunia, dan memimpin dengan/sebagai contoh dalam menegakkan transparansi dan akuntabilitas.
Amerika juga menaruh harapan pada Indonesia yang berusaha mewujudkan perkembangan berkesinambungan, karena cara kita bertumbuh itulah yang akan menentukan kualitas hidup kita dan kesehatan planet kita. Makanya, kita mengembangkan teknologi energi yang bersih yang dapat menghidupkan industri dan menjaga sumber daya alam Indonesia yang berharga – dan Amerika menyambut kepemimpinan negaramu untuk memerangi perubahan iklim.
Dan di atas semua itu, Amerika juga menaruh harapan atas kesuksesan orang-orang Indonesia. Di bawah semua headline yang ada hari ini, kita mesti bangun jembatan antara kedua masyarakat kita, karena masa depan keamanan dan kemakmuran kita itu adanya bareng. Ini sih apa yang kita sedang lakukan – dengan meningkatkan kolaborasi antara para ilmuwan dan peneliti kita, dan kerja bareng untuk memupuk kewiraswastaan. Dan saya seneng banget bahwa kita udah komit untuk melipatgandakan jumlah siswa Indonesia dan Amerika untuk dikirim belajar ke masing-masing negara – kami ingin semakin banyak siswa Indonesia di sekolah kami, dan kami ingin semakin banyak siswa Amerika datang ke negara ini untuk belajar, supaya kita bisa terus bikin ikatan-ikatan baru yang akan bertahan terus sepanjang abad yang baru mulai ini.
Ini adalah isu-isu yang bener-bener kudu berarti dalam kehidupan kita sehari-hari. Perkembangan, tentunya, nggak cuma semata tentang taraf pertumbuhan dan angka di atas kertas. Tapi tentang gimana seorang anak belajar ketrampilan yang mereka butuhkan untuk dapat terus eksis di dunia yang selalu berubah ini. Perkembangan adalah apakah sebuah ide yang sisiran bisa dikasih izin untuk bertumbuh kembang jadi sebuah bisnis dan nggak dicekik korupsi. Perkembangan adalah menjawab apakah hal-hal yang telah mengubah Jakarta, dari Jakarta yang saya kenal dulu, jadi Jakarta yang sekarang – hal seperti teknologi dan perdagangan dan arus orang dan barang – itu berarti kehidupan yang lebih baik bagi umat manusia, kehidupan yang ditandai dengan harga diri dan kesempatan.
Perkembangan yang seperti ini nggak bisa dipisahkan dari peran demokrasi.
Sekarang ini, kita sering denger bahwa demokrasi itu menghalang-halangi kemajuan ekonomi. Ini bukan hal baru, ya. Terutama di saat pancaroba dan saat ketidakpastian ekonomi kayak gini, ada beberapa yang bilang bahwa adalah lebih mudah untuk potong jalan dengan cara menggadaikan hak seorang manusia untuk kekuatan sebuah negara. Tapi ini bukan yang saya lihat dalam perjalanan saya ke India, dan bukan yang saya lihat di Indonesia. Apa yang sudah Indonesia capai itu mencontohkan bagaimana demokrasi dan perkembangan itu saling menguatkan.
Kayak demokrasi-demokrasi yang lain, Indonesia tentu merasakan ada kemerosotan di perjalanannya. Amerika juga gitu kok. Konstitusi kami menyebutkan usaha untuk membentuk sebuah “kesatuan yang lebih sempurna lagi”, dan itu adalah sebuah perjalanan yang sudah kami lakukan sejak saat itu, ada Perang Saudara, ada pergolakan ada usaha untuk meningkatkan lagi hak semua warga negara. Tapi ini adalah usaha yan telah menjadikan kami lebih kuat dan lebih makmur, sambil tentunya jadi sebuah masyarakat yang lebih adil dan bebas.
Kayak negara lain yang telah muncul dari balik pemerintahan kolonial dari abad lalu, Indonesia sudah berjuang dan berkorban untuk memperoleh hak menentukan sendiri nasib bangsanya. Dan ini adalah arti dari Hari Pahlawan – bahwa ada Indonesia yang jadi milik semua orang Indonesia. Dan orang Indonesialah yang pada akhirnya menentukan bahwa kebebasan itu bukan berarti menggantikan tangan besi pemerintah kolonial dengan tangan besi anak bumimu sendiri.
Tentunya, yang namanya demokrasi ya nggak rapi. Nggak semua orang bakal suka hasil dari setiap pemilu. Semua akan merasakan naik dan turun. Tapi perjalanan ini pasti berfaedah, dan nggak sekadar menggunakan hak pilih saja. Perlu lembaga-lembaga yang kuat untuk terus memerika konsentrasi kekuatan ini. Perlu sebuah pasar yang terbuka yang mengizinkan seseorang untuk berkembang. Perlu sebuah pers yang bebas dan sebuah sistem keadilan yang independen untuk mengejar penyalahgunaan dan berlebih-lebihan, dan untuk bersikeras terus memperoleh akuntabilitas. Perlu masyarakat yang terbuka dan warga negara yang aktif untuk menolak ketidaksamarataan dan ketidakadilan.
Ini semua akan mendorong Indonesia untuk maju. Dan hal ini perlu orang-orang untuk tidak membiarkan korupsi untuk menghalangi jalan menuju kesempatan; perlu sebuah komitmen untuk transparansi yang ngasih setiap warga negara Indonesia suara dalam menentukan pemerintahan mereka; dan juga pecaya bahwa kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh bangsa Indonesa dahulu adalah hal yang menjaga persatuan negara ini.
Ini adalah pesan yang dibawa oleh orang-orang Indonesia yang menaikkan cerita demokrasi ini — mereka yang sudah berjuang di Perang Surabaya 55 tahun yang lalu; para mahasiswa yang sudah menjadi bagian dari barisan damai demi demokrasi di tahun 90an, kepada semua pemimpin yang sudah menerima transisi kekuasaan yang damai pada abad ini. Karena ujung-ujungnya, hak-hak para warga negara itulah yang akan merajut kembali Nusantara yang keren ini, yang tersebar dari Sabang sampai Merauke – yang menuntut bahwa setiap anak yang lahir ke bumi pertiwi ini harus diperlakukan sama, tanpa melihat apakah mereka lahir di Jawa atau di Aceh, di Bali atau di Papua.
Usaha ini juga meliputi contoh yang sudah diberikan Indonesia di mata dunia. Indonesia berinisiatif untuk mendirikan sebuah Bali Democracy Forum, sebuah forum terbuka bagi negara-negara untuk berbagi pengalaman dan cara terbaik untuk mengasuh demokrasi. Indonesia juga terdepan untuk mengarahkan lebih banyak perhatian pada hak-hak asasi manusia dalam wailayah ASEAN. Negara-negara di Asia Tenggara harus punya hak untuk menentukan masa depannya, dan Amerika Serikat dukung banget hak tersebut. Tapi warga Asia Tenggara juga harus punya hak untuk menentukan masa depan mereka juga. Makanya, kita kutuk itu pemilu di Burma yang nggak bebas dan nggak adil pula. Makanya kami dukung masyarakat Indonesia yang bersemangat, dalam bekerja sama dengan rekan-rekan Indonesia di wilayah ini. Karena nggak ada alasan sikap menghormati hak asasi itu berenti di perbatasan wilayah sendiri.
Bergandengan dan salaman, inilah perkembangan dan demokrasi – sebuah pandangan bahwa ada hal-hal/nilai-nilai tertentu yang universal. Kemakmuran tanpa kemerdekaan itu, ya, cuma salah satu bentuk lain dari kemiskinan. Karena ada hal-hal yang sama bagi setiap orang – yaitu kemerdekaan untuk tau bahwa pemimpinmu itu harus akuntabel padamu, dan bahwa dirimu nggak akan dipenjara cuma karena kamu tidak setuju sama mereka; bahwa ada kesempatan untuk mengenyam pendidikan, dan kerja dengan harga diri yang tegak; juga kebebasan untuk menjalankan agama/kepercayaan tanpa harus takut atau dibatasi.
Agama adalah topik terakhir yang bakal saya omongin hari ini – kayak demokrasi dan juga pembangunan – agama adalah hal mendasar dalam riwayat sebuah Indonesia.
Kayak negara Asia lainnya yang sudah saya kunjungi dalam perjalanan ini, Indonesia itu terlibat banget dalam spiritualitas – sebuah tempat di mana orang beribadah dengan bebagai cara. Selain keragaman yang kaya ini, Indonesia juga rumah bagi populasi Muslim terbesar di dunia – satu hal yang saya sadari ketika saya masih kecil dulu, ketika saya denger adzan berkumandang seantero Jakarta.
Sama seperti seorang nggak cuma dilihat dari keyakinannya, Indonesia juga lebih dari sekadar populasi Muslimnya. Tapi kita juga tau kalau hubungan antara AS dengan komunitas Islam juga udah agak berantakan tahun-tahun kebelakangan ini. Sebagai Presiden, saya jadikan ini sebuah prioritas, untuk memperbaiki hubungan ini. Sebagai bagian dari upaya ini, saya bertandang ke Kairo, Juni lalu; dan juga memintakan sebuah awal baru antara AS dengan umat Muslim sedunia – untuk membuat sebuah jalan agar dapat melihat lebih dari sekadar perbedaan saja.
Sudah saya omongkan dulu, dan saya ulangi lagi sekarang, nggak ada satu pidato yang bakal meluluhkan ketidakpercayaan kalian. Tapi saya percaya, dulu, dan juga sekarang masih percaya, bahwa kita semua punya pilihan. Kita bisa pilih untuk tetap dikekang oleh perbedaan, dan akhirnya berujung pada masa depan yang diundung prasangka dan curiga. Atau kita bisa pilih untuk bekerja keras untuk membuat jalan bersama, dan membuat komitmen untuk mencari perkembangan yang baik. Dan saya bisa janjikan ini padamu semua – nggak peduli apa yang akan menjegal, AS itu akan selalu berusaha, berkomitmen, untuk memperjuangkan kemajuan umat manusia. Inilah kami, dan inilah apa yang telah kami lakukan, dan apa yang akan seterusnya kami lakukan.
Kita sama-sama tau dengan baik isu-isu yang sudah membuat keadaan jadi tegang selama ini – isu yang sudah saya omongkan di Cairio. Dalam 17 bulan yang telah berlalu ini kita sudah bikin beberapa kemajuan, tetapi masih banyak lagi kerja yang harus dituntaskan.
Warga sipil yang tak bersalah di Amerika, di Indonesia, dan di seantero duna masih jadi target para ekstrimis yang tegaan itu. Saya sudah menegaskan bahwa Amerika itu nggak pernah, dan nggak akan pernah, perang dengan Islam. Sebaliknya, kita semua mesti mengalahkan Al Qaeda dan sekutunya, yang nggak punya hak untuk mengklaim jadi pemimpin agama apa pun – pastinya bukan sebuah agama yan besar seperti Islam. Tapi siapa pun yang ingin membangun, nggak boleh ngalah pada teroris yang hanya ingin menghancurkan. Kerjaan ini bukan cuma kerjaan orang Amerika saja. Yang pasti, di sini di Indonesia, Anda-anda semua sudah ada kemajuan dalam mencabuti/membabat teroris dan melawan ekstrimis yang tegaan itu.
Di Afghanistan (bukan negara asal penyanyi kondang Afgan-red), kami terus bekerja dengan sebuah koalisi negara-negara untuk membangun kapasitas pemerintah Afghanistan untuk membangun perdamaian di sebuah negara yang didera perang – sebuah perdamaian yang nggak ngasih tempat berlindung bagi ekstrimis jahat itu, dan yang memberikan harapan pagi orang-orang Afghan.
Sementara itu, kami ada kemajuan dalam hal komitmen inti kami – usaha untuk menghentikan perang di Iraq. Seratus rebu tentara Amerika sudah cabut dari Iraq dan orang Iraq sendiri sudah memikul kembali tanggung jawab atas keamanan mereka sendiri. Kami, tentunya akan terus mendukung Iraq sambil dia membentuk sebuah pemerintahan yang inklusif, dan kami membawa semua tentara kami pulang.
Di Timur Tengah, kami mengalami beberapa salah jalan dan kemunduran, tapi tetep persisten dalam mengejar perdamaian di sana. Pihak Israel dan Palestina sudah memulai kembali perbincangan mereka, tapi sebuah kendala besar tetep aja ada. Jangan beranggapan bahwa perdamaian dan keamanan akan datang dengan gampang. Tapi jangan ragu pula: kami tidak akan setengah-setengah untuk berusaha memperoleh sebuah hasil yang adil dan adalah harapan dari semua pihak terkait: dua negara, Israel dan Palestina, hidup berdampingan dengan aman dan damai.
Taruhannya besar, atas upaya untuk menyelesaikan isu ini, dan isu lain yang sudah saya omongkan sepanjang hari ini. Karena dunia kita sekarang udah semakin kecil dan hal-hal yang menghubungkan kita sudah memberikan keempatan, mereka juga memberi kesempatan bagi pihak-pihak yang ingin menggagalkan kemajuan. Satu saja bom diledakkan di tengah sebuah pasar dapat menghentikan roda perekonomian harian. Satu saja bisik-bisik nggak jelas dapat mengaburkan kebentaran, dan memulai lingkaran kekerasan antar komunitas yang tadinya hidup berdampingan dengan damai. Di zaman perubahan serba cepat dan di mana kebudayaan senantiasa bersinggungan, apa yang kita punyai bersama, sebagai manusia, dapat hilang.
Tapi saya percaya bahwa sejarah Amerika dan Indonesia memberikan harapan. Sejarah ini adalah cerita yang selalu dapat dibaca dalam motto kita. E pluribus unum – dari yang banyak, satu. Bhinneka Tugngal Ika – berbeda-beda tetapi tetap satu. Kita adalah dua bangsa, yang masing-masing sudah menyusuri jalan yang beda. Tapi kedua negara kita menunjukkan bahwa ratusan juta orang yang punya kepercayaan yang berbeda bisa bersatu dalam sebuah kemerdekaan di bawah satu bendera. Dan sekarang kita sedang membangun sebuah kemanusiaan bersama – melalui anak-anak muda yang akan saling belajar di sekolah-sekolah, melalui para wiraswastawan yang membangun hubungan demi kemakmuran, dan melalui usaha untuk merangkul nilai-nilai dasar demokrasi dan aspirasi manusia.
Awal tadi, saya berkunjung ke Mesjid Istiqlal, sebuah tempat ibadah yang pada waktu saya masih kecil masih tinggal di Indonesia baru sedang dibangun. Saya mengagumi minaretnya yang menjulang, kubahnya yang bikin kagum, dan ruang yang luas menyambut. Tetapi nama dan sejarahnya lah yang bikin Indonesia besar (dan bikin bangga). Istiqlal artinya kemerdekaan, dan pembangunannya adalah bagian dari simbol perjuangan negara ini untuk bebas. Selain itu, tempat beribadah bagi ribuan Muslim ini didesain oleh seorang arsitek nasrani.
Sungguh sebuah semangat yang Indonesia banget. Sungguh inlah sebuah pesan tentang falsafah inklusivitas yang diusung Indonesia, Pancasila. Kita bisa temui contoh-contoh ciptaan Tuhan yang paling indah di seantero nusantara, pada pulau-pulau yang disebut atas nama perdamaian, orang-orang memilih untuk beribadah sesuai denan keyakinan mereka. Islam berkembang, tetapi keyakinan/agama lain juga. Perkembangan ini diperkuat dengan berkembangnya demokrasi. Tradisi nenek moyang tetap kekal, walau kekuatan yang berkembang ini berjalan pula.
Bukan berarti Indonesia itu tanpa cela. Mana ada negara yang seperti itu. Tetapi, di Indonesia, kita bisa lihat adanya kemampuan untuk menjembatani perbedaan ras, wilayah, dan agama – kemampuan untuk melihat diri sendiri pada diri orang lain. Sebagai anak yang berasal dari ras lain yang berasal dari luar negara ini, saya lihat semangat ini di dalam setiap sambutan yang saya terima ketika saya pindah ke sini: Selamat Datang. Sebagai seorang nasrani yang berkunjung ke sebuah mesjid pada kunjungan ini, saya menemukannya dalam kalimat sebuah pemimpin yang bertanya mengenai kunjungan saya, yang kemudian berkata, “Orang Islam juga boleh masuk ke gereja. Kita semua pengikut Tuhan.”
Ada percikan ilahi di dalam masing-masing diri kita. Kita tidak bisa kalah pada sangsi atau sinisme atau keputusasaan. Kisah Indonesia dan kisah Amerika bercerita tentang sejarah perkembangan manusia: bahwa persatuan lebih kuat dari perpecahan, dan bahwa semua orang di dunia ini bisa saja hidup bersama dalam perdamaian. Semoga kedua negara ini dapat terus bekerja sama, dengan kepercayaan dan dengan tekad bulat, untuk berbagi kebenaran ini dengan semua orang.
(enggak pake wassalam)
Thanks to henzter
Obama pulang kampung dan melihat kaliciliwung kok masih jorok, dan banyak pengemis jalanan di Jakarta dan Obama bertambah heran, Kok ada wong Jowo nginap dikolobg jembatan…?
Obama berpikir mana mungkin kan Indonesia sumber alamnya sangat kaya, mengapa mereka kok bisa nginap dilkolong jembatan…?
Lalu ada yang berbisik ketelinga Obama;
Kekayaan negara NKRI dirampok oleh elitenya…
Obama tersenyum lalu menyebut.., Masalaallah..!
salam kenal .
obama pulang kampoeng .
hhe* .
nice post .